Selasa, 11 Mei 2010

Terorisme Sebagai Salah Satu Aktor Hubungan Internasional Menurut Feminisme



I. Terorisme Menurut Feminisme
A. Pengertian Feminisme

Feminisme adalah suatu gerakan perempuan yang menuntut emansipasi atau kesamaan dan keadilan hak dengan pria, gerakan ini bertujuan tidak ada laginya perbedaan antara Laki-laki dan kedudukannya dalam kedudukannya sehingga terciptannya “equality” dan menolak praktik patriarki. Menjelang abad 19 feminisme lahir menjadi gerakan yang cukup mendapatkan perhatian dari para perempuan kulit putih di Eropa. Perempuan di negara-negara penjajah Eropa memperjuangkan apa yang mereka sebut sebagai universalsisterhood. awalnya gerakan ini memang diperlukan pada masa itu, dimana ada masa-masapemasungan terhadap kebebasan perempuan. Sejarah dunia menunjukkan bahwa secaraumum kaum perempuan (feminin) merasa dirugikan dalam semua bidang dan dinomorduakan oleh kaum laki-laki (maskulin) khususnya dalam masyarakat yang patriarkisifatnya.

Dalam bidang-bidang sosial, pekerjaan, pendidikan, dan lebih-lebih politik hak-hak kaum ini biasanya memang lebih inferior ketimbang apa yang dapat dinikmati oleh laki-laki, apalagi masyarakat tradisional yang berorientasi Agraris cenderung menempatkan kaum laki-laki didepan, di luar rumah dan kaum perempuan di rumah.
B. Feminisme dan Terorisme

Dewasa ini, perempuan sudah memainkan peran yang penting dalam hubungannya dengan terorisme, seperti dari beberapa kelompok terkemuka yang menggunakan terorisme bunuh diri. Hal ini bisa kita lihat dalam adegan film “From Paris With Love”, dimana dalam film tersebut diceritakan bawha James Reese (Jonathan Rhys Meyers) seorang yang bekerja dikedutaan besar Amerika Serikat untuk Perancis diminta untuk melakukan penghentian kegiatan terorisme di negara itu, dan kelompok teroris di Perancis tersebut akan melakukan aksi bom bunuh diri, dimana pelaku bom bunuh diri tersebut adalah tunangan dari James Reese (Jonathan Rhys Meyers), yang notabene pastinnya seorang perempuan.

Dalam beberapa kelompok teroris, tercatat, perempuan sudah memainkan peran yang tidak terpisahkan. Wanita teroris pelaku bunuh diri bukanlah hal yang baru, menambahkan bahwa Al Qaeda, Hamas, Jihad Islam Palestina, Sri Lanka Pembebasan Macan Tamil Eelam (LTTE) dan Janda Hitam Chechnya semua memiliki anggota-wanita yang banyak di antaranya telah berusaha atau berhasil dalam melaksanakan pemboman bunuh diri. Kegiatan lain yang melibatkan perempuan dalam kegiatan teroris adalah sebagai seseorang yang membuka rekening bank di bawah nama gadis tersebut untuk menghindari kecurigaan oleh para ahli yang mendata pendanaan terorisme, mereka juga mengumpulkan uang untuk kelompok teror melalui fungsi amal, dan perlengkapan transportasi dan informasi petugas keamanan bandara lalu terfokus pada laki-laki Arab.

Salah satu contoh dari gerakan-gerakan aksi terorisme yang melibatkan perempuan adalah “Black Widows” (janda-janda hitam). Kelompok ini adalah kelompok yang melaksanakan aksi bom di Moscow, Rusia. Kelompok ini mulai diduga muncul pada tahun 1994. Awalnya, puluhan wanita Cechnya yang kehilangan suami atau keluarga dekat dalam pertempuran dengan tentara Rusia diorganisir untuk melakukan balas dendam terhadap pemerintah Rusia. Fenomena keterlibatan kaum perempuan dalam aksi-aksi kekerasan adalah hal yang tidak lazim, dan ini menjadi indikasi betapa motif individual dapat dengan mudah dibelokkan untuk mencapai kepentingan politik. Dalam perspektif feminisme, kaum perempuan selalu diidentikkan dengan dengan sikap anti-kekerasan.

Dalam politik internasional, feminisme adalah pendekatan alternatif yang mengedepankan sifat “keperempuanan” dalam memahami interaksi antaraktor. Feminisme adalah karakter, bukan jenis kelamin (gender). Ada pandangan umum yang diterima oleh para teoritisi feminis ini bahwa persoalan konflik, perang, dan kekerasan disebabkan oleh tidak terlibatkannya kaum perempuan dalam proses-proses politik internasional. Tidak mengherankan apabila ketidakterwakilan perempuan menyebabkan lahirnya asumsi-asumsi, pandangan-pandangan dan akhirnya kebijakan-kebijakan yang timpang. Keputusan untuk berperang, misalnya, hampir pasti tidak pernah ditentukan dengan mengikutsertakan kepentingan perempuan. Padahal biasanya, kaum perempuan dan anak-anaklah yang paling banyak menjadi korban dari perang. Fenomena kemunculan Black Widows didasari oleh fakta bahwa mereka adalah perempuan-perempuan yang menderita akibat kehilangan suami dalam perang. Perdamaian dan kekerasan bukan milik perempuan dan laki-laki, meskipun konstruksi sosial memberikan peranan kepada laki-laki sebagai aktor dominan yang menyebabkan terbentuknya politik internasional yang penuh kekerasan.

Dari uraian tersebut tampak bahwa politik internasional yang mengedepankan perdamaian dan dialog adalah cara pandang feminis, dengan tidak mempedulikan apakah pandangan itu berasal dari laki-laki atau perempuan. Seorang laki-laki yang berpandangan feminis (cenderung pada perdamaian) tidak menjadikannya perempuan. Dan sebaliknya, seorang perempuan yang berpandangan realis (cenderung pada kekerasan) tidak akan mengubahnya menjadi seorang laki-laki.[1]

Secara umum keterlibatan perempuan dalam dalam organisasi-organisasi ini cenderung kepada kelompok-kelompok yang berorientasi pada nasionalis. Kelompok-kelompok teror fundamentalis Islam tidak pernah membiarkan perempuan untuk ambil bagian dalam kegiatan teroris mereka, apalagi dalam terorisme bunuh diri.

Kelompok-kelompok nasionalis memungkinkan perempuan untuk berpartisipasi dalam serangan yang paling ekstrim. Para pemimpin kelompok-kelompok ini sering memanfaatkan keinginan besar anggota perempuan 'untuk membuktikan kesetaraan dengan rekan-rekan laki-laki mereka dan mendorong - kadang-kadang bahkan memanipulasi mereka - untuk "sukarelawan" untuk misi tersebut. Seperti propaganda yang dilakukan Amerika Serikat terhadap perempuan-perempuan yang ada dinegera tersebut, dengan menggunakan poster yang bergambarkan perempuan bernama Rosie, dimana Rosie ini adalah sosok perempuan fiktif yang digambarkan Amerika untuk membangkitkan semangat nasionalisme perempuan-perempuan AS agar dapat membantu serta bergabung dalam perang dunia.

Alasan untuk menggunakan perempuan khususnya dalam jenis operasi berkembang dari berbagai pertimbangan pada bagian dari organisasi. Namun, semua kelompok ini menipu menggunakan tampilan bersalah seorang wanita "hamil" untuk memotong pengaturan keamanan yang berat sementara mereka mendekati target. Semua mereka mengambil keuntungan dari keinginan wanita untuk membuktikan kemampuan mereka dan pengabdian kepada organisasi dan pemimpin tertinggi mereka.[2]

Menurut salah seorang feminis Muslim, Lies Marcoes- Natsir menambahkan, keterlibatan perempuan sebagai pembawa bom bunuh diri bisa bersifat eksistensial. Menurut Lies, dalam dunia yang menganggap perempuan separuh manusia, eksistensi perempuan baru diakui ketika ia menjadi martir. “Sekali berarti, sudah itu mati,” ujarnya.[3] Beberapa studi tidak membedakan antara teroris laki-laki dan perempuan, dengan asumsi bahwa motivasi mereka sama. Kita tahu bahwa keterlibatan perempuan dalam bentuk politik tradisional berbeda dari rekan-rekan pria mereka, jadi mengapa ini harus berbeda dalam kasus teroris? Ketika gender diperhitungkan, perempuan seringkali diberikan penjelasan emosional bukan politik: anggota keluarga telah dibunuh, mereka bercerai atau kehormatan mereka telah diganggu.

Salah seorang mahasiswa Universitas Dalhousie ilmu politik. Ms Singh, dalam studi tesisnya ia menyediakan analisis feminis yang lebih menyeluruh dan komprehensif terorisme dan peran dan motivasi perempuan dalam organisasi teroris. Ia menjelaskan beberapa kelompok teroris menggunakan perempuan sebagai alat untuk mendapatkan perhatian media. Meskipun demikian, Singh berpendapat bahwa perempuan teroris tidak tanpa motivasi politik mereka sendiri. Hal ini tidak terlepasnya pandangan bahwa perempuan itu adalah sosok yang lembut dan membawa kedamaian, sehingga apabila si perempuan melakukan aksi bom bunuh diri, tentu akan menjadi perhatian publik.

Jadi, para feminis menjelaskan ketelibatan perempuan dalam berbagai tindakan teririsme sering dikrenakan masih adanya budaya patriarki di dalam lingkungan masyarakat serta masih sedikitnya penentuan kebijakan politik yang melibatkan perempuan juga menjadi salah satu pemicu. Salah satu asumsi yg menyatakan mengapa pepempuan terlibat dalam aksi terorisme adalah didasarkan faktor balas dendam, seperti kematian saudara saudara laki-laki, seperti ayah, saudara dan suami.

Peran perempuan dalam organisasi teroris merupakan area yang penting studi, sebagian besar karena memiliki implikasi pada dua aspek dalam hubungan internasional. Pertama, penelitian ini sangat penting karena perekrutan teroris perempuan memiliki pengaruh langsung pada strategi yang digunakan oleh organisasi teroris dan kemudian bagaimana organisasi teroris secara konsep baik dalam pembuatan kebijakan akademis dan lingkaran. Nilai strategis keterlibatan perempuan dalam serangan teroris menentang stereotip sosial "yang" dianggap sebagai teroris

Perekrutan perempuan sebagai aktor bom bunuh diri oleh para pemimpin organisasi teroris sering menjadi nilai strategis tersendiri, hal ini tidak terlepas dari sifat-sifat ke femininan perempuan, biasanya sifat perempuan yang terkenlal akan kelembutan, tidak berlaku agresif, lemah dan cenderung bersifat penyuka perdamaian digunakan sebagai alat untuk mengelabui masyarakat dalam mengidetifikasi cirri-ciri pelaku bom bunuh diri yang biasannya laki-laki yang bertubuh besar dan misterius.

Endnote:
[1] http://www.ishaqrahman.web.id diakses 9 Mei 2010.
[2]http://www.adl.org/israel/israel_women_terror.asp&rurl=translate.google.co.id&usg=ALkJrhhj7YRahw_x-sgjj9e-qqWl1fv2Ww diakses 9 Mei 2010.
[3] “Patriarki: Terorisme, Anak dan Perempuan”, Harian Kompas, Jakarta 28 Agustus 2009.

Sumber:
•http://www.ishaqrahman.web.id diakses 9 Mei 2010.
•http://www.adl.org/israel/israel_women_terror.asp&rurl=translate.google.co.id&usg=ALkJrhhj7YRahw_x-sgjj9e-qqWl1fv2Ww diakses 9 Mei 2010.
•Harian Kompas. 2009, 28 Agustus. “Patriarki: Terorisme, Anak dan Perempuan”. Dalam: http//www.ypkp.net/forum/index, diakses 9 Mei 2010.
•Singh, Anita. Merch 29, 2008. Feminism, Culture, and Terrorism: Dichotomies or Mutually Enforcing Phenomena”. Dalam: http://www.allacademic.com/meta/p252272_index.html, diakses 9 Mei 2010.

1 comments:

13satria mengatakan...

Nice posting gan :D

Posting Komentar

 
;