Senin, 25 Oktober 2010 0 comments

Ketika nafas di privatisasi .

Nafas, salah satu dari jutaan ‘hal’ yang sangat dibutuhkan manusia. Nafas adalah ciri-ciri dari mahluk hidup, karena semua mahluk hidup pasti bernafas, entah itu bernafasnya dengan paru-paru atau melalui insang atau juga yang dengan kulit. Nafas sudah menjadi karunia yang diberikan Tuhan dengan kuota yang sebebas-bebasnya dari segi penggunaanya. Seandainya jumlahnya terbatas? Hmmm mungkin akan banyak timbul konflik. Ketika suatu materi itu sejumlahnya sedikit dan terbatas tentu orang-orang akan mengeksploitasinya. Seperti minyak, yang menjadi sumber daya alam yang sangat dibutuhkan bagi kelangsungan hidup manusia, namun jumlahnya terbatas karena pemulihan sumber minyak bumi itu memakan waktu yang sangat lama. Akibat dari terbatasnya jumlah tersebut, tentu akan ada pembatasan dalam penggunaanya. Tapi karena kita butuh akan minyak tersebut tentu akan ada cost tersendiri yang mesti kita keluarkan jika ingin menggunakan fasilitas yang terbatas tersebut sebagai pengganti eksternalitas yang diakibatkan dari penggunaanya dan sebagai pembiayaan untuk pelestariannya, dan efek lanjutannya bisa akan ada privatisasi, dan akibat dari privatisasi akan menyebabkan kapitalisme, yang akhirnya lagi-lagi yang beruang (red: mempunyai uang) akan menikmatinya.

Bagaimana dengan nafas? Apakah jumlahnya terbatas? tentu tidak, tapi mungkin contoh minyak diatas akan terjadi kepada penggunaan nafas (oksigen). Contoh bentuk bernafas yang harus mengeluarkan uang? seseorang terserang asma, dia tentu kesulitan bernafas secara normal dan harus dibantu oleh nafas dari tabung oksigen. Mungkin hal tersebut baru tejadi kepada penderita asma, tapi bagaimana hal tersebut kemudian terjadi kepada keseluruhan kehidupan di bumi? Sebagi contoh ketika polusi di udara di bumi sudah sangat-sangat buruk yang diakibatkan ketidakpedulian masyarakat akan lingkungan, dan proses bernafas menjadi sesuatu hal yang membahayakan bagi mahluk hidup yang melakukannya, karena kandungan udara yang sudah sangat beracun. Ketika peristiwa itu terjadi, tentu kebutuhan manusia akan oksigen untuk kegiatan bernafas tidak bisa begitu saja berhenti. Manusia dan mahluk hidup lainnya tentu akan terus bernafas, dan khusus untuk manusia kebutuhan akan tabung oksigen pun akan meningkat. Tapi karena tidak lagi gratis, jika kita ingin menggunkannya ya tentu akan ada biaya tersendiri bukan? Dan proses bernafas pun akan mulai irit penggunaanya. Yang biasanya 1 detik bisa terjadi bernafas 3 kali diganti menjadi 1 menit 1 kali nafas. Ya, karena itu tadi, bernafas itu mahal. Manusia mungkin masih bisa menggunakan tabung oksigen, tapi bagaimana dengan hewan, mungkinkah kita harus memberikan mereka masker?

Nah sebelum hal itu terjadi, kita sebagai yang menggunakan oksigen untuk bernafas jangan hanya cuma bisa menggunkannya, tapi diharapkan juga bisa memberikan nafas bagi mahluk lainnya. Contoh memberikan nafas tersebut mungkin bisa lewat nafas buatan yang dilakukan dari oral ke oral hahaha. Dan contoh lainya yaitu dengan proses ‘penghijauan’, seperti kegiatan menanam pohon dan reboisasi hutan. Ya kita tahulah kan tumbuh-tumbuhan itukan adalah penghasil oksigen terlepas ia juga menjadi penghasil karbondioksida di malam hari. Mungkin sepele kegiatan menanam tumbuhan seperti itu, tapi dampaknya sangatlah besar bagi kelangsungan hidup mahluk-mahluk di bumi. Seandainya satu orang di dunia ini yang jumlanya lebih kurang 7 miliar jiwa ini dapat menanam satu bibit pohon saja, tentu implikasinya akan sangat berguna, bagi proses bernafas.

Bernafaslah sebelum bernafas itu diprivatisasi, dan berikankanlah nafas bagi makhluk lainnya.

Selasa, 19 Oktober 2010 0 comments

Displin itu Malu

Disiplin, mungkin sudah sedari kecil kita mendengar kata ini, dan kita juga sudah dituntun untuk disiplin sejak memasuki usia sekolah. Dimana saat memasuki masa sekolah tersebut, kita sudah diajarkan untuk masuk sekolah sesuai jam masuknya, mengumpulkan tugas tepat waktu dan juga diajarkan untuk membedakan mana waktunya main dan mana waktunya untuk belajar. Dalam agama pun begitu, bagi umat Islam, diwajibkan untuk sholat dalam sehari 5 kali, dan dalam pelakasaan ibadah itu juga memiliki waktu-waktu tertentu. Semua kegiatan tersebut sudah mengajarakan kita untuk berdisiplin. Disiplin dapat diartikan dari sebagai menghargai waktu (normatif sekali… haha). Waktu adalah salah satu hal yang sangat berharga, ada yang bilang “Time is Money”, atau berdasarkan "kalamullah" yaitu Al- Ashr “Demi masa sesugguhnya manusia kerugian”.

Bagaimana tidak keterlambatan satu detik, satu menitan, satu jaman (red: satu zaman) itu sangatlah berarti. Misal bagi seorang maling, kedisiplinan dalam waktu mutlak dibutuhkan, mulai dari kapan mau beroperasi, kapan waktu berkumpul, dan sebagainya(pengalaman nih…). Kalau saja mereka tidak disiplin dalam melakukan kegiatan maling bisa-bisa ketahuan terus digebuk masa deh.

Apabila kita displin kita cenderung akan dihargai. Anda cerdas tapi tidak displin? jangan harap akan ada yang menghargai dan tunggu saja kehancurannya. Adriano seorang pemain sepak bola asal Brazil adalah contohnya, ia adalah salatu talenta terbaik yang dimiliki Brazil. Tapi karena dia tidak disiplin dalam latihan dan sering bolos, lihat sekarang karirnya jauh menurun. Bahkan pelatih terkenal macam Jose Mourinho, Sir Alex atau Arsen Wenger adalah pelatih-pelatih yang sangat menghargai kedisiplinan, bagi mereka untuk apa anda hebat kalau tidak disiplin, karena hanya akan menggangu saja dan tidak jarang pemain-pemain hebat tersebut tidak diturunkan dalam pertandingan, walaupun tenaga mereka sangat dibutuhkan. Displin bukan berarti tidak bisa bermain-main, Ronaldo (bukan C. Ronaldo) adalah contoh yang bisa berdisiplin kapan harus main dan kapan harus bekerja. Ia terkenal akan suka dugem sampai subuh, tapi ketika ada latihan tim di pagi harinya, ia pasti akan datang. Saat ada waktu untuk bermain, disiplinlah, gunakan waktu main tersebut untuk bermain, jangan bekerja, tapi kalau waktunya bekerja disiplinlah juga dalam bekerja, jangan bermain-main, atau istilahnya itu “Play Hard, Work Hard”.

Hmmm karena ini sudah memasuki tulisan yang keempat, tentunya sudah banyak contoh-contoh bahasan tentang disiplin, ada yang menceritkan disiplin ala sebuah bangsa di Eropa, yang terkenal akan kedisiplinannya itu, ada yang membahas kalau kita mau sukses harus disiplin seperti contoh diatas, ada juga yang menceritakan bagaimana disiplin itu menjadi sebuah komitmen dan ada juga yang menceritakan tentang bagaimana sifat displin itu timbul, dengan paksaan, sukarela atau justru bisa dengan rasa malu?

Kaitan antara disiplin dengan malu bisa kita lihat dikehidupan atau dari karakter bangsa kita sendiri. Contoh sehari-harinya yaitu kita sendiri, kehidupan mahasiswa. Masih banyak sekali terlihat kejadian dimana seorang mahasiswa datang ke perkuliahan itu terlambat, mending telambatnya karena ada kejadian yang mendadak seperti kecelakaan dll. Nah yang paling parah dan gak tau malu itu adalah sengaja untuk terlambat, dan bahkan muncul kata seperti ini “Ah paling telat lima sampai sepuluh menit doang, dan dosennya pasti mentolerirnya”. Hallo??? 5 menit? Seorang Spongebob saja yang terlambat datang bekerja satu menit pas, tapi ia merasa sangat bersalah dan merasa sangat malu, padahal bosnya si Mr. Krab, tidak tahu kalau ia terlambat, ya iyalah satu menit doang terlamabatnya. Lah ini 5 menit dianggap biasa, dan gak malu lagi. Dosen mentolerir? itu maksudnya baik, namun sering disalah artikan, sehingga muncul istilah “lebih baik terlambat darpda tidak sama sekali”, seharusnya itu “lebih baik tidak terlambat daripada malu”. Belum lagi saat giliran absen, ada yang nyerobot gak mengikuti jalur yang sesuai, dan ini lagi-lagi terjadi karena tidak ada rasa malu, tidak malu untuk nyerobot dan tidak malu untuk tidak antri, alhasil jadinya tidak disiplin. Bangunlah budaya malu, agar kita bisa disiplin.

Displin itu malu, yang tidak displin berarti tidak punya kemaluan (red: rasa malu).
Rabu, 06 Oktober 2010 0 comments

Perut Mu, Emosi Mu

Dalam tulisan kali ini saya akan membahas kaitan perut dengan emosi. Hmm, mengapa emosi??? Menurut saya, perut adalah salah satu sumber yang bisa membuat emosi kita bekerja, entah itu naik turun, sedih senang, marah atau bahagia, dll.

Namun, sebelumnya saya akan memberikan pandangan seberapa riskan dan pentingnya perut. Perut, menjadi bagian yang paling penting dalam kehidupan ini. Semua yang kita lakukan pada dasarnya berorientasikan pada perut, dan hampir semua kegiatan kita didunia ini adalah bagaimana cara untuk mengisi perut. Mungkin akan ada yg bilang kalimat tadi membuat kita seperti hewan, walaupun kita sebagai manusia diciptakan bukan seperti hewan, yang hidup untuk perut (makan), melainkan perut untuk hidup,tapi ujung-ujungnya urusan perut lagi kan. Karena perut nasioalisme tejual, karena perut iman tergadai dan karena perut juga harga diri runtuh.

Kembali ke permasalahan emosi dengan perut. Apabila kita sudah mengisi perut atau yang biasa dinamakan dengan makan, dan kenyang, apa yang kita rasakan? Tentu ada perasaa puas, senang atau bahagia. Dan kalau lapar ya tidak bahagia, sedih, bahkan ada ada yang jadi sentimentil. Suatu ketika kita mungkin pernah mengalami kejadi ini, saat kita memesan makan disebuah tempat makan, namun makanan yang kita pesan tersebut terlambat datangnya. Dalam keadaan seperti itu biasanya emosi kita pun juga ‘naik’, entah itu marahlah atau ‘ngambek’ bukan ngembik ya!, entar dikira kambing. Pokoknya emosi yang negatif. Dan kalau makan tersebut sudah muncul dan berpindah ke perut, pikiran pun jadi tenang hati pun jadi lapang. Bahkan karena perut ini dapat membuat hati lapang, pikiran tenang dan perasaaan pun jadi senang tadi, dalam melakukan kegiatan entah itu diplomasi, pembicaraan kerjasama perdangan, atau pun dalam berbagai proses ‘bergaining’ cenderung juga diadakan di meja makan, hal ini mungkin dimaksudkan agar proses ‘bargaining’ tersebut berjalan lancar. Kita pun juga sering misal dalam mengerjakan tugas, kita ditemani ‘cemilan’ (cemilan cebelum cepeluh, hehe), dan tujuannya pun adalah untuk membuat mood kita jadi ‘baik’.

Mungkin perut bukan hanya sebagai pusat dari emosi mungkin juga hasrat, nafsu dan birahi. Seperti saat kita berpuasa, yang kita lakukan ya mungkin mengendalikan perut, tapi lebih lanjut kita dihadapakan untuk mengandalikan emosi, nafsu serta birahi. Entah mengapa, kalau kita lapar, emosi (emosi yang negatif) kita pasti mudah tersulut?. Seolah-olah perut ini dapat mengontrol emosi. Kan, kalau lapar emosi kita jadi mudah naik turun, nah dengan melakukan pengndalian perut (puasa) tadi, kita juga harus dapat mengontrol emosi. Jangan hanya karena lapar, kita jadi mudah mengumbar amarah, sudah banyak contoh bagaimana konflik terjadi karena permasalah perut.

Dalam kaitan perut dalam pengandali birahi contohnya seperti ini, dalam Islam jika kita punya hasrat untuk menikah namun pasangan belum ada, tapi keinginan tersebut
* r }vosP E atau nafsu itu sudah sangat membuncah, kita anjurkan untuk mengandalikan perut kita, yaitu dengan puasa tadi. Loh? Hal ini berdasarkan yang saya papat erat kaitanya dengan pendalian emosi, nafsu dan birahi, saat lapar tentu emosi dkk itu, sangat mudah untuk berubah-ubah, dan kita pun harus mengontrol birahi tersebut agar tidak menjadi hal-hal yang negatif.

Jadi kendalikan emosi mu, kendalikan perut mu.

 
;