Jumat, 01 Juli 2011

PERANG SAUDARA: SRI LANKA

Perang saudara di Sri lanka merupakan perang dua etnis di Sri Lanka, yaitu Sinhala dan Tamil. Suku Sinhala merupakan etnis dominan di Sri Lanka (70%), sedangkan Tamil menjadi etnis pinggiran dan sering mendapatkan dikriminasi dari pemerintahan, yang kemudian memuculkan pergerakan sepratisme Tamil, Militansi Nasionalis Macan Tamil Sri Lanka (militant Sri Lankan Tamil nationalists) seperti Gerakan Pejuang Pembebasan Macan Tamil Liberation Tigers of Tamil Eelam (LTTE). Dimana konflik ini terjadi antara gerakan separatis dengan pihak militer Sri Lanka yang telah berkecamuk sejak tahun 1983. Tujuan dari gerakan sepratis ini adalah untuk pembentukansebuah negaramerdekadiutara dan timurpulau, dimana di kedua kawasan tersebut mayoritas dihuni oleh suku Tamil.

Pada awalnya Sri Lanka bernama Ceylon, dan dijajah oleh Inggris. Pasca Perang Dunia II, India mendapatkan kemerdekaanya dari Inggris pada tahun 1945, hal ini kemudian juga memicu penduduk Ceylon untuk memperjuangkan kemerdekaanya yang kemudian mereka dapati pada tahun 1948. Dengan perginya Inggris tersebut, kemunculan identitas nasional Tamil semakin menguat, yang didorong dengan oleh tindakan-tindakan kelompok mayoritas Sinhala yang menganggap pulau Sri Lanka sebagai rumah ‘ekslusif’ untuk warga Sinhala, dan warga Tamil adalah pendatang yang harus diasimilasikan dan dilebur kedalam sebuah negara persatuan Sinhala yang menganut ajaran Budha.

Sebagai kelompok mayoritas, pemerintahan demi pemerintahan di Ceylon terus menguatkan kepemilikannya akan negara sebagai milik warga etnis Sinhala dan sebaliknya etnis Tamil dan warga Muslim semakin terpinggirkaan. Setelah Ceylon ini merdeka, kemudian naiklah Perdana Menteri Sri Lanka pertma yang bernama Bandaranaike. Saat ia menjabat, sang PM ini membuat suatu keputusan yang dianggap diskriminasi oleh etnis Tamil yang ada di Sri Lanka, yaitu kebijakan yang menjadi bahasa Sinhala sebagaia bahasa resmi dari negara Sri Lanka, yang mana kebijakan ini dituangakan dalam Akta Singhala Sahaja. Penduduk Tamil yang menggunakan bahasa Tamil merasakan diri mereka didiskriminasikan, banyak yang menjadi pengganguran, miskin dan sebagainya.

Di lain sisi, melalui perjanjian dengan Pemerintah India, Pemerintah Ceylon pada tahun 1960-an mengembalikan sejumlah warga etnis Tamil yang tinggal dataran-dataran India, yang ada di selatan India, dan sebagian kecilnya warga Tamil yang masih tetap mendiami Utara dan Timur Ceylon mendapatkan status kewarganegaraan Ceylon, dan Pemerintahan Ceylon pun juga mengakui etnis ini sebagai penduduk asli pulau tersebut, namun Pemerintah acapkali menomorduakan mereka.

Perbedaan derajat antara etnis Sinhala dan etnis non-Sinhala, termasuk Tamil, yang menjadi kebijakan politik dan dipertegas dalam berbagai produk kebijakan hukum. Hal ini yang kemudian tidak dapat diterima oleh warga etnis Tamil ini, aksi protes pun mulai bermunculan, yang pada awalnya cemderung bersifat protes dengan aksi damai perlahan-lahan mulai berubah menjadi aksi-aksi yang disertai kekerasan.

Sebagai puncak atau titik kulminasi dari aksi-aksi kekerasan etnis Tamil ini adalah perlawanan bersenjata yang dilakukan secara-terang-terangan terhadap Pemerintahan Ceylon, yang dibawah kepemimpinan Sirimavo Bandaranaike yang kemudian mengubah nama Ceylon menjadi Sri Lanka pada tahun 1972.

Upaya Penyelesaian Konflik

a. Keterlibatan serta Intervensi Kemanusiaan oleh India

Tamil juga merupakan salah satu suku yang ada di India Selatan dan suku ini memiliki hubungan yang erat dengan suku Tamil di Sri Lanka utara. Melihat konflik di Sri Lanka, India pada awalnya berusaha untuk menahan diri dari ikut campur dalam konflik tersebut. Padahal, suku Tamil yang ada di India berusaha keras agar India dapat turun dan menupayakan kehidupan yang lebih sejahtera bagi warga Tamil di Sri Lanka. Namun, konflik ini semakin meluas dan India terkena getahnya. India dituduh pihak pemerintahan Sri Lanka, yang menganggap India membiarkan penyelundupan senjata dari negara itu ke warga tamil di Sri Lanka. Di samping itu juga terjadi penggungsian warga Tamil Sri Lanka ke India, yang kemudian menyebabkan tuduhan tersebut semakin kencang.

Etnis Tamil yang berada di negara bagian Tamil Nadu, India Selatan, semakin resah akibat dari penindasan yang dilakukan pemerintahan Sri Lanka terhadap suku Tamil di negara tersebut. Dan hal tersebut membuat India pusat mau tidak mau haru ikut campur agar konflik tersebut tidak meluas menjadi konflik antar negara. Namun, sebelum negara India pusat mulai ikut campur, pada awal tahun 1980 negara-negara bagian India telah lebih dahulu masuk ke dalam konflik tersebut. Melalui badan intelejen, India menyediakan persenjataan, pelatihan dan pendanaan kepada sejumlah kelompok garis keras Tamil di Sri Lanka. Pemberian dukukungan ini dimaksudkan bahwa suku Tamil di India juga mendukung suku Tamil di Sri Lanka, dan juga ada pesan tersembunyi yang ingin disampaikan India untuk menanamkan pengaruh India kepada setiap kelompok tersebut.

Intervensi kemanusiaan India pertama kali datang pada tanggal 4 Juni 1987. Lima pesawat transport dan dikawal empat jet mirage IAF, mereka menjatuhkan 25 ton makanan dan obat-obatan di semanjung Jaffna (Sri Lanka Utara) bagi penduduk Tamil yang telah menderita sangat tidak manusiawi yang diakibatkan oleh blokade tentara Sri Lanka. Ke ikut campur tanganan India dalam konflik Sri Lanka bukan untuk menghentikan serangan Sri Lanka atau untuk memperkuat gerilyawan militer tetapi, seperti India menyatakan, untuk memberikan beberapa bantuan kemanusiaan. Dengan kata lain, India mengklaim telah campur tangan dalam urusan Sri Lanka atas dasar kemanusiaan.

Walaupun yang tentara lawan adalah para militan, namun penderitaan warga sipil terlihat sangat nyata. Tujuan resmi yang India samapikan dalam intervensi ini adalah : (i) untuk memberikan bantuan pangan kepada rakyat Sri Lanka yang kelaparan di bawah blokade selama enam bulan; (ii) untuk melindungi etnis Tamil dari buruan kebijakan genosida yang dijalankan oleh Colombo di pantai utara Sri Lanka; (iii) untuk memberikan bantuan medis kepada korban yang terluka akibat operasi militer Sri Lanka.

Enam minggu kemudian, pada 29 Juli 1987, atas kesepakatan pemerintahan Sri Lanka yang dipimpin Presiden Jayawardane, dengan pemerintahan India yang diwakilkan Perdana Menteri India Rajiv Gandhi, yang dituangkan dalam perjanjian Indo-Lanka atau Indo-Sri Lankan Accord, India pun mengirimkan pasukan perdamaiannya ke Sri Lanka. Dengan tujuan untuk menegahi konflik antar pemerintahan Sri Lanka dengan kelompok Tamil. Operasi tersebut dinamakan Indian Peace Keeping Force (IPKF). Pergerakan IPKF tersebut merupakan kontigen militer India yang berusaha untuk menjaga perdamaian di Sri Lanka yang dimulai pada tahun 1987 sampai 1989/1990. Indian Peace Keeping Force dibentuk dibawah mandat dari Indo-Sri Lankan Accord atau kerukunan keturunan Sri Lanka, yang ditanda tangani oleh pihak India dan Sri Lanka pada tahun 1987.

Dalam kesepakatan kedua negara diatur bahwa sebuah dewan provinsi akan dipilih untuk memerintah wilayah Jaffna, dengan diberi otonomi yang substansial selama preiode percobaan. Akan tetapi kesepakatan tersebut tidak memuaskan pihak manapun. Macan Tamil langsung memprotes sebelum India mengisolasi kelompok mereka dan mempersenjatai kelompok Tamil lainnya, dan penetangan ini juga muncul dari etnis Sinhala dan komunitas pendeta Buddha. Hal ini kemudian menyebabkan kekerasan terhadap pasukan perdamaian tersebut. Ketika Presiden Ranasinghe Premadasa menggantikan Jayawardane, pemimpin baru Sri Lanka itu meminta pasukan India ditarik pada Maret 1990. Dengan hal itu selesai sudah intervensi atau campur tangan India dalam konflik Sri Lanka.

b. Mediasi oleh Norwegia

Pada pertengahan tahun 2000, kelompok Hak Asasi Manusia memperkirakan lebih dari satu juta di Sri Lanka mengunggsi dan tinggal di kamp-kamp penampungan. Oleh karena itu, gerakan perdamaian yang siginifikan dikembangkan pada akhir 1990-an, baik melalui jalur organisasi perdamaian, konferensi, pelatihan dan mediasi perdamaian, dan upaya lain untuk menjembatani kedua belah pihak. Pada awal Februari 2000, Norwegia diminta untuk memediasi kedua belah pihak, dan awal diplomatik internasional mulai mencari penyelesaian yang dinegosiasikan dalam konflik tersebut.[1]

Menjelang akhir tahun 2001, namun, LTTE mulai menyatakan kesediaan mereka untuk ikut dalam langkah-langkah untuk penyelesaian konflik. LTTE diyakini telah mengambil tindakan ini setelah takut tekanan internasional dan dukungan AS terhadap pemerintah Sri Lanka sebagai bagian dari War on Terror. Pada tanggal 19 Desember 2001 Norwegia membawa pemerintah dan Macan Tamil ke meja perundingan, LTTE mengumumkan gencatan senjata 30 hari dengan pemerintah Sri Lanka dan berjanji untuk menghentikan semua serangan terhadap pasukan pemerintah.[2] Pemerintah yang baru menyambut hal tersebut dengan baik, dan pemerintah juga mengumumkan gencatan senjata selama satu bulan dan menyetujui untuk mengangkat embargo ekonomi di wilayah yang dikuasai pemberontak.[3] Kedua belah pihak kemudian menandatangani Memorandum of Understanding (MoU) pada tanggal 22 Februari 2002, dan menandatangani perjanjian gencatan senjata permanen (CFA). Norwegia menjadi mediator, dan diputuskan bahwa mereka, bersama-sama dengan negara-negara Nordik lainnya memantau gencatan senjata melalui komite ahli bernama Sri Lanka Monitoring Mission.[4]

Namun, gencatan senjata itu akhirnya berakhir pada tahun 2008. Gencatan senjata berumur 6 tahun itu, sudah ribuan kali dilanggar, baik oleh pihak pemerintah maupun pemberontak, terutama 2 tahun terakhir. Dengan pembatalan secara resmi, pemerintah membuka jalan untuk serangan militer besar-besaran terhadap kelompok separatis Macan Tamil Eelam, LTTE. Kesepakatan gencatan senjata yang dicapai dengan susah payah tahun 2002 menumbuhkan harapan akan terwujudnya solusi damai. Namun pengambilalihan kekuasaan dari tangan mayoritas Singhala oleh Presiden Rajapakse dua tahun silam, memperburuk situasi secara dramatis. Kedua pihak menolak untuk sepaham dan memilih jalan kekerasan dan pemerintah mengumumkan diakhirinya secara resmi perjanjian gencatan senjata. [5]

Akhir Perang

Setelah berbagai upaya resolusi konflik yang digagas gagal, pemeritah Sri Lanka telihat sangat concern terhadap upaya militer dalam menumpas kelompok LTTE ini. Panglima Angkatan Darat Sri Lanka, Sarath Fonseka menyatakan kemenangan mereka pada tanggal 16 Mei 2009. Namun, perang tidak berakhir sampai hari berikutnya. Pasukan Sri Lanka bergegas membersihkan kantong perlawan LTTE terakhir. LTTE pun hancur, tentara Sri Lanka membunuh 70 pemberontak yang berusaha melarikan diri dengan perahu. Keberadaan pemimpin LTTE Vellupillai Prabhakaran yang juga merupakan pendiri LTTE dan para pemimpin pemberontak lainnya, diumumkan oleh pemerintah Sri Lanka, bahwa Prabhakaran telah meninggal pada tanggal 17 Mei 2009.[6]

LTTE akhirnya mengakui kekalahan pada 17 Mei 2009, melalui kepala pemberontak dalam bidang 'hubungan internasional, Selvarasa Pathmanathan, menyatakan pada website yang berbunyi "Pertempuran ini telah mencapai akhir yang pahit ... Kami telah memutuskan untuk membungkam senjata kita."[7] Dengan adanya peryataan tersebut serta dengan kematian pendiri LTTE, Prabhakaran gerakan Macan Tamil dan Konflik Sri Lanka ini berakahir.



[1] "Norway role in Sri Lanka peace plan". Susannah Price (BBC News). February 1, 2000. Retrieved January 4, 2010.

[2] "Sri Lanka rebels announce truce". BBC News. December 19, 2001. Retrieved January 4, 2010.

[3] "Sri Lanka enters truce with rebels". BBC News. December 21, 2001. Retrieved January 4, 2010.

[4] "Colombo lifts ban on Tamil Tigers". BBC News. August 26, 2002. Retrieved January 4, 2010.

[7] From correspondents in Colombo (May 17, 2009). "Tamil Tigers admit defeat in civil war after 37-year battle". News.com.au. Retrieved 17 May 2009.

2 comments:

Unknown mengatakan...

Perlunya dunia tanpa diskrimasi menjadi gerakan global

Unknown mengatakan...

www.goocap.com mendukung dunia tanpa diskriminasi

Posting Komentar

 
;